Al-Qur’an,
Pondasi Moral Bagi Generasi Masa Kini
Al-Qur’an adalah salah satu mukjizat besar Nabi Muhammad SAW yang mempunyai
peranan penting untuk keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun akhirat.
Sebagai kitab suci yang diperuntukkan bagi manusia, Al-Qur’an berisi
aturan-aturan sesuai dengan fithrah manusia yang memiliki kecenderungan kepada
hal baik dan membenci hal yang buruk. Kesinergikan antara fitrah dengan moral
membuat semua ayat Al-Qur’an berbicara tentang moral secara langsung maupun
tidak langsung, menjadikan Al-Qur’an sebagai pondasi moral merupakan suatu
kewajiban karena semua petunjuknya berguna untuk kepentingan manusia. Al-Qur’an
juga menjelaskan bahwa semua isi yang terkandung di dalamnya tidak perlu
diragukan karena semuanya berasal dari Tuhan, sebagaimana dalam Qur’an Surat
Yunus ayat 37 yang artinya: “Tidak mungkin Al-Qur’an ini dibuatbuat oleh selain
Allah, tetapi (Al-Qur’an) membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan secara terperinci ketetapan (Allah). Tidak ada keraguan di
dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” Arti ayat tersebut
mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an dijadikan sebagai pondasi moral karena berasal
dari Tuhan. Setiap yang berasal dari Tuhan sudah dapat dipastikan baik untuk
manusia. Menurut Al-Jazairi, Allah lah yang mengatur keadaan tubuh, akal, moral
dan ruh manusia. Sebagai pengatur yang bertanggung jawab, maka Allah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk tentang apa yang dibutuhkan manusia. Dengan kata
lain, Al-Qur’an telah memberikan semacam garansi bahwa setiap moral yang
bersumber dari Allah pasti baik dan dapat diaplikasikan pada semua zaman.
Generasi masa kini (generasi
Z) merupakan generasi termuda dan penduduk asli era digital. Dalam era digital
sekarang ini, pengaruh Al-Qur’an terhadap pengendalian moral santri menjadi
semakin signifikan. Santri sebagai generasi yang berusaha menjalani nilai-nilai
agama Islam, dihadapkan pada tantangan besar dalam menghadapi pengaruh
teknologi modern dan budaya digital yang begitu meresap dalam kehidupan. Era
digital membawa berbagai keuntungan, termasuk akses ke pengetahuan global,
tetapi juga membawa tantangan moral yang serius. Santri sebagai generasi
penerus Islam, perlu memiliki moral yang baik dalam menjalani kehidupan di
dunia. Dalam konteks tersebut, Al-Qur’an tetap menjadi pedoman utama dan sumber
ajaran moral yang kokoh bagi santri. Jika berbicara tentang generasi Z dalam
konteks realita, maka yang terbersit di benak kita adalah anak muda yang
memiliki kedekatan dengan dunia digital, gadget addict (ketergantungan
dengan gadget), generasi merunduk (karena kebiasaan melihat handphone
dalam waktu yang lama), generasi yang memiliki literasi digital, dan
generasi yang berinteraksi dengan sesama melalui dunia maya. Perkembangan zaman
dengan segala kecanggihannya membawa kemudahan namun juga membawa keburukan,
salah satunya yaitu adanya pengikisan nilai-nilai moralitas, seperti kebiasaan
bolos sekolah, melawan guru, pergaulan di luar batas dengan lawan jenis maupun
sesama jenis dan sebagainya. Banyak diantaranya sikap remaja yang mulai tidak
peduli dengan hal sekecil apapun dan tidak sopan terhadap hal-hal sepele,
contohnya tidak memberi salam atau kurang hormatnya terhadap orangtua, guru
ataupun orang lain, banyak santri yang menggunjing/membicarakan kesalahan guru
dengan terang-terangan, ketika dinasehati oleh guru, malah semakin membangkang.
Banyak juga murid yang berprasangkan buruk terhadap gurunya, padahal sebenarnya
guru lebih mengerti tindakan yang beliau lakukan. Prasangka buruk atau suudzon
terhadap guru tidak diperbolehkan karena menyebabkan ilmu yang diterima murid
tidak sampai kepadanya.
Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Al
Hujurat ayat 12 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ
وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari keburukan orang dan jangan
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hujurat 49:12).
Adapun adab murid terhadap
guru dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam terjemah kitab At Tibyan Fi Adab Hamalah Al-Qur’an bahwa:
1. Murid
perlu menghindarkan diri dari hal-hal yang memalingkan murid dalam mencari
ilmu, kecuali apabila ada suatu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan.
2. Murid
perlu membersihkan hatinya dari hal-hal yang buruk agar mudah dalam belajar Al-Qur’an, menghafalkannya, serta mengambil faedah darinya.
Dalam hadits juga telah diriwayatkan bahwa “ingatlah, sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal darah, apabila segumpal darah itu baik, maka akan baik seluruh tubuh, tetapi apabila darah itu buruk, maka buruklah seluruh tubuh...segumpal darah yang dimaksud yaitu hati.”
“Sesungguhnya
hati akan terhiasi dengan adanya ilmu sebagaimana bumi terhiasi dengan adanya
tumbuhan”
3. Murid
hendaknya bersikap tawadhu’ kepada guru serta berbudi pekerti baik bersamanya.
Walaupun usia guru lebih kecil dari pada murid, walaupun murid lebih terkenal
dari pada guru, walaupun murid lebih mulia nasabnya dari pada guru atau
sebagainya. Dengan ketawadhu’an murid terhadap guru maka akan menjadikan murid
mendapat ilmu yang dicarinya.
4. Murid
hendaknya selalu patuh pada guru, selalu meminta pertimbangan guru dalam setiap
permasalahannya.
5. Seorang
murid wajib memandang gurunya dengan pandangan memulyakan, meyakini
kesempurnaan keahliannya, serta keunggulan di atas golongannya. Semua itu akan
lebih mendekatkan untuk mendapatkan manfaat dari padanya. Sebagian para ulama
dahulu jika mereka mendatangi guru mereka, mereka bersedekah dengan sesuatu
seraya berd’oa: “Ya Allah..tutuplah keburukan guruku dari pandanganku, dan
janganlah Engkau hilangkan barokah ilmu beliau dari diriku.”
Riwayat
dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib beliau berkata: “Termasuk kewajibanmu
terhadap guru adalah engkau memberi salam kepada orang-orang secara umum dan
mengkhususkan kepada gurumu dengan suatu penghormatan. Hendaknya engkau duduk
di depannya dan tidak memberi isyarat di hadapannya dengan tanganmu atau
mengedipkan kedua matamu. Janganlah engkau katakan, si fulan berkata lain dari
yang engkau katakan. Jangan mengumpat seseorang di dekatnya dan jangan
bermusyawarah dengan kawan dudukmu di majlisnya. Jangan memegang bajunya jika
dia hendak berdiri, jangan mendesaknya jika dia malas dan jangan merasa bosan
karena lama bergaul dengannya.
6. Murid
hendaknya selalu menjaga adab dengan adab yang telah disampaikan oleh khalifah
Ali bin Abi Thalib, hendaknya murid menahan diri dari membicarakan keburukan
gurunya ketika guru sedang tidak ada jika mampu. Tetapi jika tidak mampu
seperti itu, lebih baik murid meninggalkan majlis gurunya tersebut.
Terdapat sebuah hadits juga menjelaskan bahwa “Barang siapa memandang wajah guru (orang alim) dengan satu pandangan lalu ia merasa senang dengannya maka Allah menciptakan malaikat dari pandangan itu dan memohonkan ampun kepadanya sampai hari kiamat.”
Dengan demikian, maka penting bagi kita menanamkan Al-Qur’an pada jiwa untuk menjadi generasi yang cerdas, bermoral, berkarakter dan menjadi generasi penerus bangsa yang tidak hanya paham teknologi tetapi juga menjadi generasi Qur’ani yang beretika, bermoral serta berakhlak mulia.